Selasa, 09 Oktober 2012

“Sesuatu“ itu kami namakan “Pancasila“.

“Sesuatu“ itu kami namakan “Pancasila“. Ya, “Pancasila“ atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad, telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, seluruh imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.
Jadi, berbicara tentang Pancasila di hadapan tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun.
Apakah Lima Sendi itu? Ia sangat sederhana: pertama Ketuhanan yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, keempat Demokrasi, dan kelima Keadilan Sosial.
Perkenankanlah saya sekarang menguraikan sekadarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian, untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selam berkobarnya perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami!
Akan tetapi, nasionalisme kami sekali-kali bukanlah chauvenisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar, bahwa istilah “nasionalisme“ dicurigai, bahkan tidak dipercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutarbalikkan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, maka Barat tidak akan menantang dengan senjata chauvenisme Hitler yang agresif.
Tidaklah nasionalisme – sebutlah jika mau, patriotisme - mempertahanbka kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita: nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.
Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah kapitalisme. Di Asia dan Afrika, yang saya kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan nasionalisme-chauvenisme yang bersumber di Eropa. Nasionalisme asia dan Afrika serta nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudar-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat yang adil dan makmur dapat merupakancita-cita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalis saya adalah peri kemanusiaan“. Kami pun demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme, di mana saja kami jumpai.
Sila ketiga kami adalah Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Bukankah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukkan bahwa keduanya tidak akan berdiri sendiri tanpa adanya bangsa-bangsa dan nasionalisme. Justru adanya kedua organisasi itu menunjukkan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, di mana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang antinasional dan memang bertentangan dengan kenyataan.
Sebetulnya internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, di mana setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bnagsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme yang sejati adalah tanda, bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah meninggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasil, telah meninggalkan penyakit kekanak-kanakan tentang chauvenisme dan kosmopolitanisme.
Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus.
Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya, bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian.
Akhirnya, sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur yang dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial.
Demikianlah Pancasila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasioanlisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar